Monday, June 9, 2008

‘BANGKITLAH WAHAI PARA DOKTER’(100 tahun Kebangkitan Indonesia: Harapan itu Masih Ada)

0leh dr.Naharus Surur,M.Kes

Satu abad yang lalu, tepatnya 21 Mei 1908 berdirilah Organisasi Boedi Oetomo yang di motori oleh para mahasiswa Sekolah Dokter Pribumi atau STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische/ sekolah untuk mendidik dokter-dokter pribumi). Para mahasiswa Kedokteran STOVIA merasakan keresahan yang berkepanjangan dan akhirnya memuncak dengan timbulnya semangat perlawanan terhadap penjajah untuk mendapatkan kemerdekaan bangsanya. Puncak keresahan tersebut diwujudkan dengan mendirikan organisasi Boedi Oetomo yang dimotori oleh Soetomo yang masih mahasiswa dan kawan-kawannya serta seniornya yang sudah lulus yaitu dr.Wahidin Sudirohusodo.
Di sebuah ruang kuliah Anatomi di STOVIA, sekarang tempat ini bernama Museum Kebangkitan Nasional yang terletak di Jl. Dr.Abdurrahman Saleh 26 (dulu bernama Di hospital weg/ jalan rumah sakit). Pada hari Rabu jam 09.00 WIB, pada tanggal 20 Mei 1908 diruang tersebut para pemuda pelajar STOVIA membentuk organisasi Boedi Oetomo yang dimotori oleh Soetomo dan dr.Wahidin. Istilah ini diambil dari dialog antara Soetomo dengan seniornya dr.Wahidin Sudirohusodo: menika satunggaling padamelan sae serta laku Budi utami (ini merupakan pekerjanan baik serta prilaku yang utama/mulia).
Di ruang Anatomi ini pula dr.Wahidin memulai menyebarkan semangat perjuangan untuk mengangkat harkat bangsa Indonesia dari keterpurukan ekonomi, sosial, budaya, dan dominasi penjajah Belanda. Akibat dari motivasi dari dr.Wahidin kepada adik-adik kelasnya sehingga membakar semangat untuk berjuang seorang Soetomo dkk, sampai-sampai akan dikeluarkan dari STOVIA karena diketahui oleh dosennya yang menuduhnya melakukan makar melawan Belanda. Namun solidaritas kawan-kawannya sangat tinggi membela Soetomo, sehingga pihak STOVIA tidak berani mengeluarkannya.
Lahirnya Boedi Oetomo ini memberikan inspirasi kepada anak bangsa yang lain untuk tergerak melakukan perlawanannya terhadap penjajah Belanda. Maka berdirilah Indische Partij yang didirikan oleh tiga serangkai yaitu Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro pada tahun 1911 walaupun dua tahun berikutnya partai ini dibubarkan oleh Belanda karena dianggap membahayakan kolonial. Setahun kemudian lahirlah sebuah organisasi berideologi Islam bernama Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah nama menjadi Serikar Islam (SI) yang merupakan organisasi politik pertama. Awalnya dari inisiatif Haji Samanhudi di Solo kemudian dipimpin oleh Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto dari Surabaya.
Setelah itu disusul lahirnya Ormas Islam yaitu Muhammadiyah yang didirikan KH.Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Kemudian diikuti oleh Ormas Islam lainnya yaitu NU (Nahdlatul Ulama) pada tahun 1926 oleh KH.Hasyim Ashari. Dilanjutkan juga oleh Ir Soekarno dkk mendirikan partai dan merumuskan dua ideologi perjuangannya yaitu Marhaenisme dan Pancasila.
Bila dilihat urutan sejarah di atas, sangat nampak betapa besar peranan para mahasiswa kedokteran STOVIA dan para dokter dalam membangkitkat semangat untuk mengadakan perlawan terhadap kolonial Belanda serta meng-inspirasi para pemuda untuk melakukan perjuangan melalui organisasi yang modern yang merupakan cikal bakal perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Bagaimana dengan kita saat ini wahai para temen sejawat (TS) dokter di seluruh Indonesia dimanapun berada dan pada posisi apapun anda saat ini. Masihkah semangat para senior pendahulu kita, dimana mereka meninggalkan segala kepentingan pribadi untuk memberikan seluruh kemampuannya dalam rangka mensejahterakan dan memerdekakan bangsanya.
Masihkah ada semangat berkorban dr Soetomo ada dalam sanubari kita bersama wahai para teman sejawat? Beliau menanggalkan kepentingan pribadi, sampai akan dikeluarkan dari kampus STOVIA namun tak menyurutkan perjuangannya.
Kita harus mampu bangkit dari situasi yang sangat membelenggu kita bersama saat ini. Kita harus mampu mengurai satu persatu belenggu tersebut agar mampu Bangkit dari keterpurukan saat ini. Adapun belenggu-belenggu tersebut adalah:

Pertama, belenggu struktural. Pemerintah hingga saat ini belum mampu memberikan Regulasi yang tepat terhadap peran dan penempatan dokter yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini. Regulasi peran dokter yang diwujudkan dalam UU kedokteran no.29/2004 belum menyentuh kepada permasalah mendasar peran seorang dokter dalam mengabdikan seluruh kemampuan untuk bangsa namun baru hal-hal teknis yang artificial. Belum lagi dalam masalah penempatan dokter yang sesuai dengan kebutuhan wilayah RI yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Begitu luas wilayah bangsa Indonesia dan begitu beragamnya kemampuan setiap daerah dalam anggaran. Akibatnya ada daerah yang mampu mendatangkan para dokter,namun tidak sedikit daerah yang tak mampu mendatangkan dokter ke wilayahnya. Belum lagi berbicara masalah jarak, begitu banyaknya daerah-daerah yang jauh dari pusat kota maupun keramaian. Dulu ada program WKS (wajib kerja sarjana) sehingga dengan agak terpaksa para dokter didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia tanpa kecuali. Namun semenjak pemerintah menerapkan strategi Zero Growth terhadap penerimaan PNS, maka WKS diberhentikan dan digantikan PTT (pegawai tidak tetap). PTT membuat para dokter pada hakekatnya bekerja setengah hati. Jangankan berpikir mengabdi dengan sebaik-baiknya terhadap tugas yang diberikan Negara, karena dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri. Disamping belum ada kepastian nasib paska PTT, dia juga mendapatkan gaji yang tak memadai sebagai seorang sarjana kedokteran yang menempuh pendidikannya saja sulit dan perlu waktu yang sedikit lama dibanding sarjana yang lain. Pemerintah tidak memberikan insentif yang menarik terhadap para dokter PTT baik yang di kategori biasa,terpencil dan sangat terpencil. Kriteria ini sangat absurd sehingga menimbulkan keengganan para dokteruntuk ditempatkan di wilayah terpencil dan sangat terpencil, disamping juga masalah insentif masalah materi dan non materi.

Kedua, belenggu kultural. Dimasyarakat profesi dokter dianggap posisi yang sangat terhormat dan strategis. Satu sisi ini sangat menguntungkan bagi para dokter yang memang ada panggilan nurani dalam menjalankan profesinya. Namun sangat beban bagi dokter yang kemudian berubah niat untuk meng-komersilkan profesinya, karena dia harus meninggalkan atribut terhormat tersebut untuk mengejar materi yang memang menjadi kebutuhan utama pada saat ini. Dokter berlomba-lomba meningkatkan profesionalitasnya dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan bukan lagi dalam rangka optimalisasi profesi untuk masyarakat dan bangsa namun dalam rangka menaikkan tarif dan mempercepat kekayaannya. Dokter ditengah-tengah masyarakat diposisikan sebagai manusia yang serba tahu, sehingga sering dilibatkan dalam pelbagai persoalan masyarakat baik secara struktural maupun kultural. Namun karena sekarang fokus para dokter mulai bergeser, akibatnya sudah tidak ada waktu lagi bersama-sama masyarakat untuk mengadakan diskusi dalam mencari permasalahan dan memecahkannya. Padahal peran ini sangat sesui dengan peran yang dirumuskan oleh IDI yaitu agent of change, agent of development dan agent of treatment.

Ketiga, belenggu pendidikan. Ada persoalan mendasar dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Tidak hanya masalah kurikulum, dimana kurikulum pendidikan kedokteran saat ini sangat mengedepan aspek knowledge. Baru sebatas transfer of knowledge, belum sampai pada transfer of values.Padahal masalah ini menjadi sangat utama bagi seorang calon dokter dan dokter. Namun porsi matakuliahnya nggak ada atau kalau boleh dibilang sangat sedikit. Pada akhirnya dokter itu akan terjun ke masyarakat bila telah selesai pendidikannya, namun bekal bagaimana berinteraksi dengan masyarakat secara luas sangat sedikit bekalnya. Kemampuan how to relation and manage community tidak ada sehingga banyak sekali kesalahan-kesalahan yang nggak perlu dilakukan oleh seorang dokter namun terjadi. Belum lagi masalah pola pendidikan terutama di klinik (baik untuk pendidikan dokter umum dan spesialis) yang sangat feodalistik. Hal ini mencerminkan pendidikan kedokteran itu sangat ketinggalan bila dibanding dengan fakultas lain apalagi negara lain. Pola pendidikan seperti ini menimbulkan budaya mau menang sendiri sehingga sulit mendengar pendapat orang lain, minta diistimewakan, egois, merasa serba bisa, terlalu PD dengan kemampuannya, dan eksklusive dalam pergaulan. Belum lagi masalah biaya pendidikan kedokteran yang masuk dalam kategori sangat mahal baik tingkat dokter umum maupun dokter spesialis. Hal ini mengakibatkan yang masuk di kedokteran adalah orang-orang yang mampu saja, sementara orang yang punya idealisme namun tak mampu tidak bisa masuk. Akibat ikutannya maka dokter setelah selesai pendidikannya, maka mereka fokus bagaimana secepatnya biaya-biaya yang sudah dikeluarkan tersebut bisa cepat bisa kembali. Maka mereka berlomba lomba untuk mencari tempat praktek diperkotaan dengan asumsi lebih prospek bila disbanding di remote are. Semakin menumpuk praktek dokter di kota-kota besar, sementara di daerah-daerah yang jauh dari keramaian sangat sedikit dokter yang praktek.

Keempat, belenggu ikatan profesi. Organisasi profesi sebesar IDI sudah sewajarnya dikelola secara professional karena memiliki tupoksi yang sangat strategis untuk me-mentain dan meningkat profesionalitas seorang dokter paska selesai pendidikannya di universitas. Namun IDI terjepak pada masalah rutinitas dan seremonial belaka belum menyentuh kepada kebutuhan dasar dokter. Hal ini diakibatkan karena ikatan profesi hanya satu sehingga terjadi monopoli yang mengakibatkan tidak terjadi kompetisi yang konstruktif. Pengalaman menunjukkan bila sesuatu dimonopoli biasanya tidak terjadi kompetisi dalam pelayanan. Belum lagi ada tumpang tindih dengan organisasi lain dari profesi dokter namun bukan meningkatkan profesionalitas dokter, akan tetapi menambah birokrasi profesi dokter akibatnya high medical-economic. Semua urusan harus diselesaikan dengan biaya yang cukup tinggi bagi dokter yang prakternya tak laku apalagi di remote-area. Sementara para anggota hanya merasa terbebani dengan iiuran anggota saja namun tidak mendapatkan sesuatu kecuali surat izin praktek.

Kelima, belenggu budaya hedonis. Budaya hedonis dengan dahsyatnya menyerang semua orang termasuk profesi dokter. Dokter lebih memilih kepada tampilan luar dibandingkan dengan pesona pribadi yang kemudian memancar dalam pola pelayanannya. Mereka berlomba-lomba meningkatkan performa luarnya demi mengejar gengsi dan meningkatkan status dihadapan para koleganya. Akibatnya pelanggaran dalam etika profesi tak bisa dihindarkan. Hubungan pasien dan dokter hanya hubungan formalitas antara penerima dan pemberi jasa. Maka wajarlah bila terjadi eksplorasi profesi demi mendapatkan imbalan yang besar. Belum lagi hubungan dokter dengan produsen obat, dimana terjadi hubungan yang terselubung saling menguntunkan satu sama lain. Hal ini sangat merugikan pasien kare mereka membayar sesuatu yang seharusnya nggak perlu dibayar (high medical-economic).
Itulah belenggu-belenggu yang menenggelamkan peran mulia para dokter. Padahal oleh para pendahulu kita sudah dicontohkan bagaimana mereka menjalankan profesinya secara mikro dengan baik, namun juga secara makro mereka terlibat dengan persoalan bangsa dan mencarikan berbagai alternative penyelesaiannya. Mereka memberikan contoh juga bagaimana fungsi strategis dokter sebagai agent of change dan agent of development dijalankan dengan maksimal demi kesejahteraan masyarakat dan bangsanya. Para dokter ada di garda terdepan dalam rangka memecahkan kebuntuan – kebuntuan persoalan bangsa yang begitu komplek dari semenjak dulu hingga sekarang. Dalam kontek kekinian maka perana para dokter sebagaimana era dr.Soetomo dkk sangat dinantikan oleh masyarkat dan bangsa Indonesia.

No comments: