ASURANSI :
TINJAUAN HUKUM DAN SEJARAH
A. PENDAHULUAN
"Life is the Game" begitulah pepatah mengatakan. Permainan
tentu ada kalanya menang, ada kalanya kalah. Begitu pula kehidupan, ada kalanya
mujur, ada kalanya babak belur bahkan hingga hancur. Asumsi yang semacam itu
membuat setiap manusia selalu ingin terhindar dari babak belur apalagi hancur (total
lost) sehingga berusaha mencari sebuah pelindung (security) dikala
terjadi sesuatu hal diluar keinginan (force majure), minimal resiko yang
ditanggung tidak sebesar musibah yang diterima karena ada pihak sebagai
pelindung atau penanggung atas kecelakaan tersebut.
Dengan adanya jaminan resiko, maka tercipta hidup yang aman, hal ini
juga sejalan dengan firman Allah Swt:
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ
خَوْفٍ
" Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan" (QS. Quraisy :
4)
Ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa Allah menginginkan makhluknya
menjadi makhluk yang hidup dalam kemakmuran dan ketenteraman sehingga
menjadikan mahluk yang berbakti kepada Allah Swt. Bukan makhluk yang selalu
dihantui oleh ketakutan, kebimbangan dan terlebih tidak bisa melaksanan
kewajibannya melaksanakn perintah tuhannya.
Allah Swt juga memerintahkan umat manusia untuk menjadi umat yang
tangguh sebab dengan begitu akan tercipta sebuah keturunan yang kuat sehingga
tercipta sebuah tatanan umat manusia yang sejahtera.
وَلْيَخْشَ
الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar." (QS. Annisa : 9)
Ayat diatas mengajak umat manusia untuk supaya tidak khawatir atas
kesejahteraan mereka. Namun, adanya jaminan rasa ketidak khawatiran ini tentu
bukan diartikan tanpa usaha, melainkan adanya sebab (sebab-musabab) sehingga
tercipta sebuah kesejahteraan, karena fitrah manusia sendiri itu untuk berusaha
(ikhtiyar).
Maka, untuk memberi jaminan atas rasa ketakutan secara umum baru muncul
pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia dalam bentuk asuransi perjalanan laut.
Maka, karena asuransi ini tergolong sebuah model transaksi baru, sehingga
disiplin ilmu fikih klasik belum ada yang menyebutnya. Hal ini menjadikan ulama
kontemporer melakukan ijtihat guna mencari sebuah sistem asuransi yang sah
menurut hukum Islam sebab sejak munculnya asuransi, yang berkembang adalah
asuransi konvensional (mengandung unsur riba, judi dll).
Berdasarkan UU RI nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian – pasal
1 menyebutkan bahwa pengertian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri pada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari satu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan satu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Pengertian asuransi diatas secara umum tidak mengatur bentuk serta
mekanisme tertentu, terlebih menggunakan mekanisme yang sesuai dengan tuntunan
ajaran Islam sehingga asuransi konvensional jika dihadapkan pada hukum syariah
terdapat banyak larangan-larangan sehingga perlu dihindari.
B. SEJARAH ASURANSI SYARIAH
Asuransi telah lahir dan ditemukan jauh sebelum datangnya Islam yang
digali melalui sejarah perekonomian dan kebudayaan manusia sejak zaman dulu,
bahkan para pakar sejarah mengaitkannya dengan sejarah nabi Yusuf as.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci al-Qur'an. Riwayat lain menurut
Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak zaman Babilonia sekitar
3000 tahun sebelum masehi. Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di
barat kemudian berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi
konvensional.
Berbeda dengan asuransi syariah, sejarah lahirnya asuransi syariah
berasal dari budaya suku Arab dengan sebutan Al-Aqilah. Konsep al-Aqilah
ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini didasarkan oleh
hadits dari baginda nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra. Dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku Huzail,
kemudian salah satu melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan
kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari
wanita yang meninggal tersebut mengadukan kepada baginda Rasulullah Saw, maka
Rasulullah Saw, memutuskan ganti rugi dari pembunuhan janin tersebutdengan
pembebasan seorang budak laki-laki maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi
kematian tersebut dengan diyat yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat
dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhori)
Dalam budaya suku Arab dulu, jika anggota suku membunuh anggota suku
yang lain, maka ahli waris terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran uang darah)
sebagai penutupan. Kemudian Rasulullah Saw membuat ketentuan tentang
penyelamatan jiwa para tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, maka
harus membayar tebusan untuk membebaskannya. Selain itu, Rasulullah Saw juga
telah menetapkan menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah
kompensasi untuk berbagai kecelakaan akibat perang seperti :
5 ekor unta untuk luka tulang dalam
10 ekor unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki
12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris)
Dari sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi
syariah berbeda dengan konvensional. Dimana sejarah asuransi syariah lebih
kepada tolong menolong satu sama lain sedangkan konvensional lebih kepada
mencari keuntungan semata.
Perkembangan sejarah diatas akhirnya memunculkan sebuah pengertian
berbeda, dimana pengertian asuransi konvensional sebagaimana disebutkan diatas
bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak
penanggung mengikat diri pada tertanggung. Sedangkan asuransi syariah yang oleh
beberapa ulama mendefinisikannya seperti menurut Rofiq Yunus Al-Mashri, asuransi
adalah perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung untuk sesuatu yang
dipertanggungkan[3].
Sedangkan Wahbah Zuhaili dalam Fikih Islami mendefinisikan sesuai dengan
pembagiannya. Menurutnya, asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min
at-ta’awuni (asuransi dengan pembagian tetap).
Asuransi ini adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah
uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat
kecelakaan/kerugian. Kecelakaan yang menimpa para peserta asuransi ini dapat
berbentuk kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian dan
bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi
seperti ini dapat juga berlaku bagi orang-orang yang pensiun, tua renta, dan
tertimpa sakit.
Dan at-ta’min bi qist sabit adalah aqad yang mewajibkan seseorang
membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa
pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan
kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini
adalah at-ta’min bi qist sabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan
antara kedua asuransi ini, menurut Mustafa al-Buga terletak pada tujuan
masing-masing. At-ta’min at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari
keuntungan, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi
kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat
diantara ulama tentang hukum kebolehan at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar
dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ …Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah
: 2)
Pada dekade tahun
70-an, di beberapa Negara islam atau di Negara-negara yang mayoritas
berpenduduk Muslim, mulai bermunculan asuransi yang prinsip opersionalnya
mengacu pada nilai-nilai islam dan terhindar dari unsur-unsur yang diharamkan.
Pada tahun
1979, Islamic Insurance Co. Ltd berdiri di Sudan, Islamic Insurance Co. Ltd di
Arab Saudi. Pada tahun 1983, berdiri Dar al-mal al-Islami di Genewa dan Takaful
Islam di Luxumburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas, dan at-Takaful al-Islami
di Bahrian. Adapun di Negara tetangga yang paling dekat dengan Indonesia, yakni
Malaysia, telah berdiri Syarikat Takaful Sendirian Berhad pada tahun 1984.
Sedangkan di
Indonesia, asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan
diresmikannya PT. Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful umum pada
tahun 1995.
Gagasan untuk mendirikan asuransi islam di Indonesia
sebenarnya telah muncul sejak lama, dan pemikiran tersebut lebih menguat pada
saat diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991
C. PENGERTIAN
Kata
“asuransi” banyak berasal dari bahasa-bahasa asing diantaranya adalah:
Ø Bahasa
Belanda ”assurantie”, yang berarti pertangungan,
Ø Bahasa
Italia “insurensi”, yang berarti jaminan
Ø Bahasa
Inggris “assurance”, yang berarti jaminan
Ø Bahasa
Arab “At-ta’min”, yang berarti perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas
dari rasa takut.
Dari segi
bahasa menurut:
- Wirjono berarti sebuah persetujuan pihak, yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin atas kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari sebuah peristiwa yang belum jelas terjadi. Abbas Salim berarti suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi) kerugian-kerugian yang belum pasti.
- Syeikh Musthafa az-Zarqa berarti cara dalam menghindari risiko yang akan dihadapinya.
- Ensiklopedi Hukum Islam berarti transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak pertama berkewajiban untuk membayar iuran dan pihak lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran.
- UU No. 2 thn 1992 pasal 1 berarti perjanjian antara dua pihak atau lebih dimana pihak penangung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena suatu kerugian, kerusakan dan lain sebagainya.
- Faturrahman Djamil berarti suatu persetujuan dimana pihak yang menanggung berjanji terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggung, sebagai akibat dari suatu hal yang mungkin akan terjadi.
Setelah
memperhatikan beberapa definisi asuransi diatas, baik dari segi bahasa ataupun
istilah, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal
terlibat pihak pertama yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak lain
mendapatkan pergantian dari suatu kerugian yang mungkin akan di derita sebagai
akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu terjadi atau belum di
tentukan saat akan terjadinya.
Adapun uang
yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung akan tetap menjadi milik pihak
yang menaggung apabila peristiwa yang dimaksud tidak terjadi.
Dalam
Asuransi paling tidak ada tiga unsure yang terlibat. Pertama,pihak tertanggung
yang berjanji membayarkan uang premi kepada pihak penangung secara sekaligus
atau secara angsur. Kedua, pihak pihak penanggung yang berjanji akan membayar
sejumlah uang kepada pihak tertanggung secara sekaligus atau secara angsur
apabila ada unsure ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum jelas terjadi.
D. PANDANGAN ULAMA MENGENAI ASURANSI
SYARIAH
Tujuan
asuransi sangatlah mulia, karena bertujuan untuk tolong-menolong dalam
kebaikan. Namun persoalan yang dipertikaikan lebih lanjut oleh para Ulama
adalah bagaimana instrumen yang akan mewujudkan niat baik dari asuransi
tersebut; baik itu bentuk akad yang melandasinya, sistem pengelolaan dana,
bentuk manajemen dan lain sebagainya
Dari
permasalahan instrumen pendukung inilah para Ulama terbagi kepada 2 kelompok
besar :
Kedua
kelompok dimaksud, masing-masing mempunyai dasar hukum dan memberikan
alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap argument atau pendapat yang
disampaikannya. Disamping itu, ada yang berpendapat membolehkan asuransi yang
bersifat social (ijtima’i) dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial
(tijari) serta ada pula yang meragukannya (syubhat).
Kelompok yang mengharamkan asuransi syariah :
- Ibnu Abidin, Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa asuransi adalah haram, karena uang setoran peserta (premi) tersebut adalah iltizam ma lam yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim / wajib)
- Muhammad Bakhit al-muthi’i (mufti Mesir) mengatakan bahwa akad asuransi yang menjamin atas harta benda pada hakikatnya termasuk dalam kafalah atau ta’addi / itlaf.
- Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena mengandung riba. Beliau melihat riba tersebut dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.
Menurut
Warkum Sumitro pengharaman asuransi berdasarkan atas 5 alasan:
1. Asuransi
mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam islam.
2. Asuransi
mengandung unsur riba yang dilarang dalam islam.
3. Asuransi
termasuk jual beli atau tukat-menukar mata uang tidak secara tunai.
4. Asuransi
objek bisnisnya tergantung pada hidup dan matinya seseorang,yang berarti
mendahului takdir Allah SWT.
5. Asuransi
mengandung eksploitasi yang bersifat menekan.
Menurut Mahdi Hasan pelarangan praktik asuransi berdasarkan atas 4 alasan:
- Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara kedua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya.
- Asuransi juga merupakan perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya resiko.
- Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karenaperusahaan asuransi meskipun milik Negara, tetap merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba.
- Dalam asuransi jiwa juga terdapat unsure risywah, karena kompensasi di dalamnya adalah sesuatu yang tidak dapat dinilai.
Kelompok yang membolehkan asuransi syariah :
Antara lain
dikemukakan oleh Ibnu Abidin, Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa (guru besar
Universitas Syirya), Syaikh Abdurrahman Isa (guru besar Universitas al-azhar
Mesir), Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (guru besar Universitas Kairo), Syaikh
Abdul Khalaf, dan Prof. Dr. Muhammad al-Bahi,
Pada
dasarnya, mereka mengakui bahwa asuransi merupakan suatu bentuk muamalat yang
baru dalam islam dan memiliki manfaat serta nilai positif bagi ummat selama di
landasi oleh praktik-praktik yang sesuai dengan nilai-nilai islam.
Argumentasi
yang mereka pakai dalam membolehkan asuransi menurut Faturrahman Djamil adalah
sebagai berikut:
1. Tidak
terdapat nash Alqur’an atau hadits yang melarang asuransi.
2. Dalam
asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
3. Asuransi
menguntungkan kedua belah pihak
4. Asuransi
mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di
investasikan dalam kegiatan pembangunan.
5. Asuransi
termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
6. Asuransi
termasuk usaha bersama yang di dasarkan pada prinsip tolong-menolong.
Dalam
Islam,asuransi haruslah bertujuan kepada konsep tolong menolong dalam kebaikan
dan ketakwaan.
C.
Karakteristik
Melihat sejarah dan perkembangan asuransi konvensional yang berkembang
hingga saat ini, terbangun sebuah karakteristik yang memiliki orientasi bisnis
semata, sehingga mengenyampingkan aspek-aspek moralitas, lebih jauh lagi sistem
yang terbangun hanyalah untuk mencari keuntungan semata bahkan dengan segala
cara. Dalam asuransi konvensional nasabah lebih banyak dirugikan, belum lagi
investasi dana yang terkumpul dari pembayaran premi nasabah diinvetasikan
terhadap produk yang lebih cepat menghasilkan keuntungan, terutama disektor financial
assets.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin melarang
praktek-praktek bermuamalah yang merugikan salah satu pihak (tidak adil) dan
praktek-praktek yang masih samar atau tidak diketahui. Dalam muamalah yang
sesuai syariah, yang dicari adalah keridhaan Allah Swt demi kebaikan dunia dan
akhirat. Lebih jauh lagi, tidak hanya halal maupun haram saja yang menjadi
pertimbangan, melainkan diterima atau tidaknya muamalah kita oleh Allah Swt.
Hakikat manusia sebagai hamba yang harus patuh kepada tuhan (habl min
al-Allah) dan manusia yang harus hidup bermasyarakat (habl min an-nas)
sudah sepatutnya tidak boleh saling merugikan, baik rugi dimata tuhan maupun
rugi sesama manusia. Islam menolak ketidak adilan, namun islam mendorong untuk
saling berbuat kebaikan (fastabiqul khoirot). Sejalan dengan hal itu,
asuransi dengan sistem konvensional tidak sejalan dengan karakteristik Islam
yang lebih mengutamakan maslahah. Maka, dalam pandangan syariah secara luas,
perlu adanya sistem yang sejalan dengan hukum Islam, sebagaimana yang sekarang
berkembang yaitu asuransi syariah.
Di antara
karakteristik Asuransi Syariah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama :
akad yang dilakukan adalah akad at-Takafuli.
Kedua :
selain tabungan, peserta juga dibuatkan tabungan derma.
Ketiga :
merealisir prinsip bagi hasil.
Dalam
asuransi konvensional hanya mempunyai tujuan yang semata-mata mencari
keuntungan; dan bukan di dasari oleh rasa tolong-menolong antar-sesama. Pada
asuransi konvensional, akad perjanjian yang mendasarinya adalah akad jual-beli
(tabaduli).
Karnaen A
Perwaatmadja mengemukakan 4 ciri-ciri asuransi syariah :
1. Dana
asuransi diperoleh dari pemodal dan peserta asuransi didasarkan atas niat dan
persaudaraan untuk saling membantu pada waktu yang diperlukan.
2. Tata cara
pengelolaan tidak terlibat dari unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat
islam.
3. Jenis
asuransi Takaful terdiri dari Takaful Keluarga yang memberikan perlindungan
kepada peserta.
4. Terdapat
dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas untuk mengawasi operasional
perusahaan agar tidak menyimpang dari tuntunan syariat islam.
Model
asuransi syariah :
1.
Non-Profit Model biasanya dipakai oleh perusahaan sosial milik Negara atau
organisasi yang dikelola secara non-profit (nirlaba). Model inilah yang
sesungguhnya paling mendekati konsep dasar asuransi syariah karena selaras
dengan kaidah-kaidah berikut : saling bertanggung jawab, saling bekerja sama,
dan saling melindungi
2.
Al-Mudharabah model, secara teknis, al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Disini terjadi pembagian untung rugi diantara
anggota (shahibul mal) dan pihak pengelola / perusahaan asuransi (mudharib).
3. Wakalah,
berbeda dengan akad mudharabah, dibawah akad wakalah, Takaful berfungsi sebagai
wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful
berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka.
Ciri-ciri
asuransi syariah dalam opersionalnya antara lain :
·
Menghindari Riba
·
Menghindari unsur judi
·
Menghindari unsur penipuan (gharar)
Asuransi
syariah, di samping memiliki karakeristik yang melekat pada konsepnya (built in
concept), juga lebih berorientasi untuk :
·
Tolong-menolong dan bekerja sama
· Saling
menjaga keselamatan dan keamanan
· Saling
bertanggung jawab
D.
Mekanisme Umum
Pada prinsipnya setiap segala sesuatu itu hukumnya boleh. Hal ini
didasarkan pada qoidah "ان
الاصل فى الاشياء الاباحة"
dan أن الدليل اذا دل على حرمة الشيء من تلك المباحات فهو
حرم" sehingga pelaksanaan asuransi
pada dasarnya tidak bertentangan dengan islam, yang dilarang oleh islam jika
memang mengandung larangan.
Model asuransi konvensional dilarang dalam Islam karena mengandung
beberapa hal yang bertentangan dengan syariah diantaranya:
1. Jual Beli Resiko
Dalam asuransi konvensional secara umum mekanismenya adalah mengurangi uncertainty
(ketidakpastian, keraguan) yang disebabkan oleh adanya kemungkinan kerugian.
Asuransi memberikan kepastian kepada peserta asransi dengan memberikan biaya
kerugian atau transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari
peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer
of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai
konsekwensi, maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik
perusahaan ausransi. Perusahaan asuransi akan memberikan klaim atau tuntutan
atas suatu hak yang timbul karena persyaratan dalam perjanjian yang ditentukan
sebelumnya telah dipenuhi.
Model seperti ini dalam pandangan ulama tidak diperbolehkan, hal ini
karena premi asuransi yang dibayarkan merupakan imbalan jasa atas jaminan yang
diberikan kepada tertanggung untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita
oleh tertanggung. Selain itu, juga merupakan imbalan jasa atas perlindungan
yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah
uang terhadap resiko hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa). Permi
asuransi adalah syarat yang harus dibayarkan sebagai pra-syarat adanya
perjanjian asuransi (no premium no insurance). Hal ini mengandung
unsur-unsur perjudian/taruhan, spekulasi dan riba karena model perputaran uang
dalam asuransi konvensional masih samar, terutama pembayaran klain atas polis
asuransi dan hal ini mengandung ghoror. Selain itu perusahaan terkadang
beruntung dan terkadang merugi dengan artian apabila insiden itu besar dan
lebih banyak daripada yang dibayar, maka perusahaan merugi. Apabila insidenya
kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar klaimnya, maka dia beruntung atau
sebaliknya yaitu jika tidak terjadi insiden sama sekali maka kliennya merugi.
Dan model ini dinamakan jual beli resiko.
Lebih dari itu, akad atau perjanjian dalam asuransi konvensional yang
digunakan adalah jual beli (aqd tadabuli). Namun jika memang akadnya jual beli,
sudah seharusnya syarat dalam transaksi jual beli harus terpenuhi. Diantara
syarat itu adalah adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang
diperjualbelikan. Pada asuransi konvensional ini, penjual, pembeli, barang atau
yang akan diperoleh dana. Padahal, asuransi konvensional secara pengertian
hanya mengikat antara penanggung dan tertanggung sehingga jelas keghororannya.
Menurut Kamus Fiqhi, gharar adalah segala sesuatu yang tidak diketahui
atau samar oleh manusia yang berhubungan dengan harta. Menurut Imam Syafi'i
adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita. Sedangkan
menurut Ibnu Taimiyah sesuatu yang tidak diketahui akibatnya. Hal ini sejalan
dengan asuransi konvensional dimana menurut Sayyid Sabiq bahwa bei'al gharar
adalah jual beli yang tidak jelas sehingga mengandung resiko bagi salah
seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta.
سْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ
فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن
نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ
اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya'. Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.'
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir"
(QS. Al-Baqarah: 219)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi,
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (QS.
Al-Maidah: 90)
2. Taruhan
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi
konvensional adalah adanya dana yang yang telah disetorkan kepada perusahaan.
Dalam praktek asuransi yang murni berorientasi bisnis berlomba menghadirkan
model atau sistem terbaik untuk menggaet pelanggan. Sehingga sistem yang
ditawarkan beraneka ragam. Beberapa model asuransi konvensional yang saat ini
berkembang adalah:
a. Dana Hangus, nasabah yang tidak dapat melanjutkan
pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri sebelum masa reversing period,
maka dana peserta itu hangus. bahkan yang lebih parah lagi, premi yang sudah
dibayarkan akan hangus jika tidak ada klaim.
b. Manfaat Hilang. Manfaat asuransi tidak berlaku
apabila pembayaran premi dihentikan atau tunggakan premi tidak dilunasi dalam
masa leluasa (grace period). Seperti pada asuransi Bumiputera
c. Dana yang telah disetorakan (premi) berkurang nilainya ketika masa habis
kontrak dan tidak ada klaim selama kontrak berlangsung. Seperti asuransi
Sinarmas.
Hal ini menurut para ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka
yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana
untuk melanjutkan, sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan
hangus. Pada kaitan ini nasabah dalam posisi yang didzalimi, padahal dalam
praktek muamalah dilarang saling mendzalimi antara kedua belah pihak, laa
dharaa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
E.
Manajemen Sumber Dana
1. Premi
Lembaga asuransi tumbuh dan berkembang sebab premi yang dibayarkan oleh
pemegang polis. Dalam sistem operasional asuransi konvensional, bersarnya premi
ditentukan oleh tiga faktor penting yaitu: 1) Tabel Mortalitas, 2) Penerimaan
Bunga dan 3) Biaya-biaya asuransi. Penentuan tarif merupakan hal paling penting
dalam asuransi di dalam menentukan besaran premi tersebut. Tarif premi yang
ideal adalah tarif yang harus bisa menutupi klaim serta berbagai biaya asuransi
dan keuntungan perusahaan.
Para ulama sepakat bahwa bunga (ar-rubh) adalah riba sehingga
dalam kacamata syariah, sistem penentuan besaran premi yang digunakan dalam
asuransi konvensional tidak bisa dibenarkan karena bunga sebagaimana
dimaksudkan bisa menyebabkan ketidak adilan dan unsur-unsur lain yang dilarang
islam.
2. Investasi
Semua lembaga asuransi pasti ingin selalu mengalami peningkatan baik
dalam pertumbuhannya maupun peningkatan modal atau laba sebab dengan begitu
asuransi akan terus berjalan dan mampu memenuhi kebutuhan pertanggungan
(klaim). Dana yang terkumpul dari premi-premi pemegang polis sudah diatur
berasannya sedemikian rupa menjadi sumber dana utama sehingga untuk bisa
mewujudkan harapan peningkatan modal atau laba, dana premi yang telah terkumpul
harus diinvestasikan. Pilihan investasi yang dilakukan oleh asuransi
konvensional sangat beragam, namun jika melihat karakteristiknya yang bisnis
orientied, maka wajar jika pada umumnya asuransi konvensional menginvestasikan
dananya pada sektor-sektor yang hasil imbalnya lebih cepat dan tinggi, terutama
pada sektor finansial asset. Hal ini karena mengacu pada teori
"semakin tinggi imbal hasil yang diekspektasikan maka tingkat risiko
investasinya juga semakin besar". Contoh tingkat hasil investasi tertinggi
adalah investasi di pasar modal melalui instrumen saham (stocks). Saham
dapat memberikan imbal hasil normal sekitar 20-25% pertahun belum termasuk
deviden yang dibayarkan oleh emiten.
Dari hasil cara kerja asuransi konvensional ini, uang pembayaran klaim
pemegang polis asuransi tidak jelas sumbernya serta tidak menutup kemungkinan
bercampur dengan hasil uang yang dalam pandangan syariah dilarang karena
sebab-sebab tertentu, seperti hasil riba dan lainnya. Dalam pandangan orang
yang mengetahui sember pendanaan yang digunakan, maka jelas tidak diragukan.
Jika memang bercampur dengan hasil yang dilarang, maka dilarang, atau
sebaliknya. Namun bagi yang tidak tahu, terutama nasabah, maka dikembalikan
pada hadits baginda nabi Muhammad Saw:
"Halal itu jelas, haram juga jelas. Dan diantara keduanya terdapat
hal-hal yang samar (syubhat) dimana kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Barang siapa yang menjaga diri syubhat, maka dia telah menjaga kehormatan dan
agamanya. Dan barang siapa jatuh didalam syubhat, maka dia jatuh didalam yang
haram. Seperti ia mengembala ditanah larangan, maka ia hampir jatuh
didalamnya." (HR. Muttafaq alaih)
Hadits diatas membuka tabir harus bagaimana masyarakat bersikap
ketika menghadapi ketidak jelasan suatu perkara antara halal dan haram. Dalam
investasi yang dilakukan lembaga asuransi konvensional sifatnya bebas, tidak
mengikat pada investasi disektor riil yang halal. Dalam pandangan al-Ghozali
ketika perkara itu tidak diketahui karena telah bercampur antara yang halal dan
haram maka itu diharamkan.
F.
Reasuransi
Mengutip Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi pada bab VI dijelaskan bahwa perusahaan asuransi wajib
memperoleh dukungan reasuransi untuk setiap produk yang ditawarkan. Reasuransi
sekurang-kurangnya diperoleh satu perusahaan reasuransi di dalam negeri dan
diluar negeri dengan catatan harus terlebih dulu mengikuti reasuransi di dalam
negeri. Aturan keleluasaan reasuransi ini menyebabkan perusahaan tidak menutup
kemungkinan untuk menjual kembali reasuransinya kepada pihak ketiga untuk mencari
selisih keuntungan.
Cara kerja reasuransi konvensional tersebut membuka peluang untuk
menimbulkan gambling dan riba sebab mencari selisih keuntungan yang bukan
didasarkan atas bagi hasil, termasuk riba.
G.
Kesimpulan
Asuransi konvensional memiliki banyak kelemahan dan praktek-praktek
operasionalnya yang disembunyikan sehingga menuai banyak larangan dalam syariat
Islam. Diantara kelemahan dan ketidak jelasan sebagai berikut:
1. Akad/kontrak. Kontrak dalam asuransi konvensional
adalah jual beli, namun tidak melaksanakan syarat-syarat jual beli.
2. Cara penentuan besaran premi yang dibayarkan ke
perusahaan berdasarkan bunga komulatif (pokok dan bunga) yang didapat
perusahaan.
3. Dana premi yang telah dibayarkan bisa hilang secara
keseluruhan, atau hilang manfaatnya, atau kembali namun dengan jumlah yang
berkurang tanpa ada kejelasan terlebih dulu.
4. Dana pembayaran klaim polis didapat dari sumber
yang samar.
5. Reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi
konvensional bersifat bebas dan tidak mengikat.
H.
Penutup
Dari pembahasan di atas terlihat bahwa asuransi pada dasarnya mempunyai
peran yang sangat penting serta strategis dalam penyelenggaraan kehidupan yang
lebih baik dihari mendatang. Lembaga asuransi yang sistem operasionalnya benar
dan adil akan membawa perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat dan
kemakmuran negara sehingga akan menjadi bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
Namun jika operasionalnya menyalahi aturan, maka akan didapatkan sebuah
kerancauan dan petaka dikemudian hari. Agama Islam sebagai agama yang sempurnya
sudah seharusnya digunakan dalam setiap perilaku kehidupan sehari-hari. (sumber: dari
berbagai sumber; aan zaenul anwar, ibrahim ).