Sunday, June 1, 2008

Apa itu Stres? (part 2)

Oleh Naharus Surur
Berbagai ekperimen telah dilakukan dan menunjukkan bahwa stress yang bersifat psikologis ternyata secara empiris menekan jantung dan pembuluh darah, mengurangi waktu penggumpalan darah, menghambat aspek-aspek tertentu dari kekebalan tubuh, mengganggu kondisi lambung dan menyebabkan kesulitan buang air kecil, disfungsi seksual dan masalah-masalah horman. Baik reaksi peringatan yang akut (dari stress) ataupun reaksi stress yang amat panjang barangkali secara signifikan menyebabkan berkembangnya dan berlangsungnya penyakit mental. (Harold H Bloomfield,1975)
Teori medis menunjukkan bahwa stress berlebihan dan kegelisahan tak berujung sangat berdampak pada timbulnya penyakit emosional. Statistik telah menunjukkan adanya kerugian yang amat besar dari perawatan stress. Kerugian paling besar barangkali disebabkan karena para dokter mengalami kesulitan dalam mendefinisikan penyebab stress. Dalam sedikit kasus ketika penyebab stress setelah terungkap, belum tentu pula ada sesuatu yang bisa dikerjakan(untuk mengobatinya) dan berbagai prosedur pengobatannya sangatlah mahal dan membuat frustasi.
Stres tidak sama dengan kegelisahan atau ketegangan. Kegelisahan adalah reaksi rasa takut atas berbagai sebab yang tak diketahui; respon pertama dari tubuh kitalah yang sering kali merespon perubahan yang mendadak. Ketegangan, di sisi lain, adalah kontraksi tegangnya berbagai otot, suka atau tidak.
Stres adalah sejumlah perubahan yang diadaptasikan oleh tubuh kita untuk membantu kita beradaptasi oleh tubuh kita untuk membantu kita beradaptasi dengan berbagai perubahan lingkungan atau situasi. Ini mirip dengan perubahan temperature, kita merespon panas sebagaimana kita merespon dingan. Deangan cara yang sama kita merespon berbagai tuntutan positif dan negatif.
Hans Selye, seorang ahli dibidang stress, menjelaskan bagaimana temuannya tentang stress berasal dari sejumlah observasi yang sangat sederhana.
Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, ia mencatat bahwa pada umumnya orang mulai menampakkan kelelahan tertentu dan ketidaknyamanan ketika mereka sakit. Disamping itu, keadaan umum ini barangkali muncul bukan hanya selama sakit, tapi juga setelah peristiwa fisikal atau emosional yang menekan. Didorong oleh berbagai observasi awal ini, Selye mulai meneliti untuk mengidentifikasi respon fisik yang konsisten ini terhadap keadaan-keadaan yang menekan.
Dia menemukan bahwa perubahan temperatur yang mendadak, infeksi bakteri, suara berisik, atau surprise besar, seluruhnya bisa memicu berbagai sistem pertahanan tubuh yang sama. Selye menyebut sebagai reaksi tubuh non-spesifik (yang berlaku umum bagi hampir semua orang) terhadap berbagai keadaan stress yang menekan. Kapanpun sebuah peristiwa memicu reaksi ini, peristiwa tersebut disebut sebagai faktor penyebab stress (stressor). Sindrom Adaptasi Umum (SAU), istilah medis dari Selye untuk stress yang berkembang dalam tiga tahap:

1. Reaksi peringatan (the alarm reaction)
Reaksi ini awalnya dibangkitkan oleh sistem-sistem simpatik (sistem yang beroperasi melalui suatu daya tarik menarik,saling tergantung, atau gabungan yang mutual) dan parasimpatik yang berfungsi serempak. Subsistem-sistem ini mengadaptasikan fungsi-fungsi tubuh untuk memenuhi tekanan stress. Sistem simpatetik merangsang kelenjar-kelenjar adrenalin untuk memproduksi kelenjar adrenalin. Secara bersamaan hypothalamus menggerakkan/menggiatkan/menghidupkan suatu pola hormon untuk bebas dari kelenjar di bawah otak. Melalui sinyal-sinyal hormonnya ,kelenjar ini mengatur pertahanan jasmaniah (somatic) umum bagi reaksi adaptasi.

2. Tahap Resistensi
Dengan menolak penyakit bahaya riil, operasi-operasi ini mengamankan hidup . Selama fase kedua Syndroma Adaptasi Umum (SAU), berbagai reaksi saraf tubuh dan kelenjar dan kelenjar endokrin terus berlangsung sampai situasi stres mereda.

3. Tahap Kelelahan
Pengeluaran energy dan berbagai potensi vital tubuh lainnya, dalam dua tahap pertama (stress), kemudian akan membawa pada tahap ketiga stress yaitu kelelahan. Kelelahan ini terus berlangsung sampai tubuh bisa memperoleh istirahat yang banyak dan memulihkan dirinya sendiri. Jika tubuh tidak menerima istirahat yang cukup untuk memperbaiki keseimbangannya, stress menjadi kondisi kronis yang secara gradual akan merusak kesehatan tubuh dan emosi.

Tidak hanya tekanan-tekanan fisik tapi juga emosi tinggi meningkatkan produksi adrenalin. Organisme mengalami keadaan peringatan ini sebagai persiapan untuk “bertarung atau menghindar (fight or flight)”. Meski komponen-komponen perilaku dari “syndrome bertarung atau menghindar” ini barangkali ditekan atau diubah, namun seseorang tidak dapat menekan akibat-akibat biokimia yang terjadi.

Para dokter sedang mempelajari basis biokimia dari kegelisahan dan dari neurosis (kelainan saraf) kegelisahan. Orang yang sakit saraf bereaksi terhadap situasi itu dengan itu dengan ketakutan di luar proporsi. Dalam tubuh orang seperti itu, informasi yang diproses oleh pusat-pusat selaput otak dan limbik tampaknya menggerakkan Syndrom Adaptasi Umum (stress), secara tak cocok dengan mendorong peningkatan produksi adrenalin.

Perubahan-perubahan biokimia dari reaksi peringatan “bertarung atau menghindar”, meliputi hilangnya endapan-endapan lemak pada tubuh karena zat-zat asam lemak karena dipakai sebagai bahan bakar untuk mengeluarkan energy. Meningkatnya sejumlah lemak yang terkandung dalam aliran darah menyebabkan penyakit serangan jantung. Konsentrasi zat asam lemak yang tinggi di dalam darah diasosiasikan dengan tekanan darah tinggi, serangan jantung, dan stroke. Hipertensi suatu kondisi kronis dimana tekanan-tekanan fisik secara mencolok sangat berpengaruh, adalah penyakit peredaran darah yang paling umum terjadi. Sekarang hamper 24 juta menderita hipertensi dan 700.000 orang Amerika meninggal setiap tahun karena penyakit jantung.

No comments: